Kamis, 23 Januari 2014

Rekod Baru untuk Black-headed Gull (Chroicocephalus ridibundus)

Black-headed Gull, Juvenile

Ketapang, 23/01/2014, KBK
       Ketapang Biodiversity Keeping (KBK) bersama Birding Society Of Ketapang (BSYOK) melakukan pengamatan untuk sekedar berpartisipasi dalam even Asian Waterbird Census (AWC) 2014, yang dimulai sejak 2 Januari hingga 26 Januari 2014 ini. Beberapa jenis burung air yang umum dijumpai setiap tahunnya selalu tiba kembali ke kawasan lahan basah di Ketapang. Kebanyakan jenis burung air ini adalah jenis burung bermigrasi.
     "Kita hanya berpartisipasi saja, walau data pengamatan kita hanya untuk komunitas, jadi tidak di-share kemana pun!" kata Erik dari BSYOK.
     Dalam beberapa minggu di awal 2014 ini, hal yang paling menarik adalah saat para pengamat burung menemukan Camar kepala hitam yang nama Inggrisnya Black-headed Gull (Chroicocephalus ridibundus) atau synonim nama ilmiahnya Larus ridibundus, tepatnya pada tanggal 22 Januari 2014.
Jenis ini memang umum di tempat lain di belahan dunia ini, tetapi jarang dijumpai di perairan laut Indonesia. Terutama menjadi catatan baru bagi Kalimantan.
     Burung ini berbiak di Eropa dan Asia, juga bagian timur Kanada, pada musim dingin bermigrasi ke Amerika bagian utara, serta peraiaran di laut Asia.
    "Penemuan jenis ini menambah catatan kami, beberapa jenis burung yang tidak atau belum pernah teramati selama ini, ternyata ada di Ketapang!" kata Jephi, dari BSYOK.
    "Ini merupakan indikator keseimbangan ekosistem yang relatif masih terjaga, semakin banyak jenis burung yang dijumpai menandakan ketersedian pakan bagi burung-burung tersebut masih cukup!" tambah Andhy PS, yang akrab dipanggil Alek.
    "Sebenarnya pendataan jenis merupakan target kita untuk mengetahui jumlah jenis burung yang ada di Ketapang, dengan adanya jenis yang menjadi catatan baru menyadarkan kita, betapa kayanya flora dan fauna yang ada di Ketapang yang belum diteliti sebelumnya. Dan kewajiban kitalah untuk menjaga agar mereka tetap lestari!" tambah Abdurahman Al Qadrie, Ketua KBK.

Foto-foto :







Jumat, 17 Januari 2014

Penyelamatan Anak Orangutan


Pematang Gadung, 17/01/2014, KBK

    Lembaga Kelola Hutan Desa Pematang Gadung, hari ini membawa penyerahan satu individu anak orangutan yang berumur diperkirakan paling tinggi 2 tahun untuk dibawa ke Kantor BKSDA Seksi  I Kalimantan Barat di Ketapang. 
     "Masyarakat di sekitar sangat peduli pada orangutan ini, sehingga mendesak kami untuk mengecek kebenaran informasi keberadaan orangutan ini. Ini berdasarkan seringnya masyarakat memberikan informasi untuk segera menyelamatkan orangutan tersebut"! Kata Rizal, anggota Lembaga Kelola Hutan Desa Pematang Gadung.
     Kejadian ini berlangsung saat warga Desa Pematang Gadung mendapat informasi tentang keberadaan pemeliharaan anak orangutan tersebut sekitar 5 bulan lalu, karena lokasinya sulit diakses, untuk itu dari Pihak BKSDA meminta kepada Lembaga Kelola Hutan Desa untuk memastikan keberadaan kebenaran informasi itu. 

    Pada tanggal 15 Januari 2014, 4 orang dari Lembaga Kelola Hutan Desa berangkat menuju Lokasi pertambangan, dan paginya pada tanggal 16Januari 2014 mereka baru tiba di lokasi pertambangan illegal tersebut. Sekitar pukul 8 malam, setelah menggumpulkan semua informasi, Lembaga Kelola Hutan Desa Pematang Gadung baru bisa menemui pemilinya dan diserahi orangutan tersebut. 
    Melalui telfon, Rizal, dari Lembaga Kelola Hutan Desa menghubungi orang BKSDA Ketapang untuk memberitakan kebenaran informasi keberadaan orangutan. Dengan berbagai pertimbangan, termasuk sulitnya akses ke lokasi, Lembaga Kelola Hutan Desa Pematang Gadung kemudian membawa anak orangutan tersebut ke Kantor BKSDA Ketapang, dan baru tiba sekitar pukul 16.00 hari ini.
     Orangutan tersebut rencananya secepatnya akan diserahkan ke Pusat Rehabilitasi orangutan di Sungai Awan Ketapang. 
     "Kerjasama dengan masyarakat dan dukungan mereka terhadap kepedulian pada orangutan sangat berarti bagi perlindungan makhluk yang dilindungi ini!" Kata Wahyu Saputra, anggota Lembaga Kelola Hutan Desa Pematang Gadung.

Rabu, 08 Januari 2014

Tyto longimembris, Rekod Baru Kalimantan



Pematang Gadung, 08/01/2014, KBK
     Eastern Grass Owl atau dikenal juga dengan Australian Grass Owl yang nama ilmiahnya Tyto longimembris ini merupakan burung yang sangat menarik bagi para pengamat burung (twitcher-red) di Ketapang. Pasalnya, burung jenis ini merupakan catatan baru bagi Pulau Kalimantan. Burung dari keluarga Tytonidae ini dikenal sebelumnya tersebar di kawasan Asia tenggara, Australasia dan Pasifik barat.
     "Sebenarnya burung ini merupakan jenis penetap yang sudah lama, sejak dulu sudah ada dalam cerita-cerita lokal dan sering dijumpai dengan nama lokal Lang Ketupik!" kata Abdurahman Al Qadrie, Ketua KBK. Memang terakhir saya lihat di Pematang Gadung tahun 2009, dan sangat beruntung hari ini kita melihat lagi, tambahnya. 
     Menurut Abduirahman, pada siang hari burung ini sangat jinak, karena jenis ini termasuk burung pemangsa yang aktif di malam hari (nocturnal). Merupakan pemangsa tikus yang hebat, hingga kelestarian jenis ini sangat menguntungkan pertanian. Mendiami tempat terbuka, seperti lahan pertanian yang banyak ditumbuhi rumput, lebih banyak menghabiskan waktu di permukaan tanah, jarang sekali terlihat terbang.
    Beberapa pengamat burung lain yang mendapat informasi terlihatnya burung ini langsung saja menyempatkan diri untuk mengabadikan fotonya. Sebut saja Erik, dari Sukadana langsung menuju ke lokasi, dalam jarak tempuh lebih dari 80 km.
    "Tentu saja saya sangat beruntung, setelah beberapa tahun mengamati burung, baru kali ini bisa melihat langsung!" katanya penuh semangat.
     "Ini pengalaman yang sangat menarik, karena tidak semua orang dapat kesempatan melihatnya!" kata Alipius Edy.,
     Karena jarang terlihat, hingga jenis ini menjadi semacam cerita saja yang berkembang di masyarakat, mengenal namanya tanpa pernah melihat bentuk aslinya. Mereka percaya kalau burung ini (Lang Ketupik) mengepak-ngepakkan sayapnya hingga mengeluarkan suara seperti tabuhan gendang, ada hantu yang menari di sekitarnya. 
   "Tentu saja itu mitos!" kata Abdurahman. Namun itu kearifan lokal yang perlu disikapi bijaksana, karena kepercayaan seperti itu ikut menjadi media pelestarian jenis ini, tambahnya.